Bicaralah tentang Hal ‘Tabu’ pada Anak


Berita paling hangat dua hari ini, terutama bagi kalangan ibu-ibu, apalagi kalo bukan tentang pelecehan seksual yang terjadi pada anak TK di sekolahnya sendiri, yang notabene sekolah mentereng dan dilakukan lebih dari sekali oleh lebih dari seorang petugasnya. Ya, frase-frase yang saya bold itu menunjukkan poin di mana kita harus mengelus dada atas ketidakwajarannya. Jarang-jarang saya menulis tanggapan terhadap berita semacam ini karena tidak tega. Namun, ada satu hal penting yang mendorong saya untuk berbagi di sini, yaitu… (sejujurnya ini sangat sedih diungkapkan) saya juga pernah mengalaminya ketika usia sembilan tahun >_<

Tarik nafas dalam-dalam… hembuskan… fiuh… bismillah, mari kita mulai kupas satu per satu.

Anak TK. Cerita apa yang bisa kita harapkan dari seorang anak TK? Mungkin bisa berupa teman mainnya, pengalaman mainnya, kesan terhadap tokoh film yang ditontonnya, barang yang diinginkannya, kegiatan yang ingin dilakukannya, dan sebagainya yang lebih bersifat kongkrit alias bersifat fisik.

Namun, bagaimana dengan perasaannya? agaknya kita jarang ya menemukan balita yang bisa lugas mengekspresikan perasaannya. Kecuali sejak kecil sudah dibiasakan orang tuanya untuk berbicara dari hati ke hati, tentu sulit membentuk balita yang santai mengungkapkan apa yang dirasakannya. Setidaknya ini terjadi pada saya, bahkan hingga saya beranjak remaja, jarang saya curhat tentang perasaan saya ke orang tua. Ketidaknyamanan pada mereka (orang tua), pada teman, pada guru, atau orang lainnya, biasanya saya ceritakan pada diary atau teman. Ketika dewasa ini saya mulai belajar sedikit tentang parenting, termasuk psikologi anak, barulah saya menyadari.. sebabnya, dulu memang saya tidak biasa bertukar pikiran, berdiskusi, saling curhat dengan orang tua atau saudara di rumah. Malah, malu rasanya kalo harus cerita di depan keluarga. Wajar kalo tiba-tiba ketika kenal cinta lain jenis, misalnya, saya lebih nyaman bergosip dengan teman tentang siapa yang saya taksir. Begitu pun sebaliknya, mereka melakukan hal yang sama.

father-talk-to-your-children

“Papa, dengerin deh, aku mau curhat.. tapi malu, jadi bisik-bisik aja yah..” :mrgreen:

Maka, bisa dimaklumi jika di usia keenam, AK, korban kasus pelecehan seksual yang sedang kita bahas ini, diberitakan butuh waktu lama sampai mau bercerita ke ibunya bahwa ia mengalami perlakuan buruk. Itu pun setelah ibunya yang mencium gelagat tidak wajar pada AK terlebih dahulu.

Dari komentar pakar di televisi dan beberapa artikel yang pernah saya baca selama ini, juga interaksi dengan balita di sekitar (haiyah..), konon memang usia balita hingga anak-anak awal jamak dikenal sebagai pribadi yang masih menemui kesulitan untuk mengemukakan perasaannya.. eh, mengungkapkan ding. Kalo mengemukakan kan cocoknya ‘mengemukakan pendapat’ :P. Di situs-situs bule seperti Zero to Three dan Ask Dr. Sears, misalnya, masalah perasaan anak itu (cieee) disebut sebagai challenge alias tantangan. Tips-tips di kedua tautan situs barusan sangat bagus buat dibaca dalam upaya yang disebut si dokter raising an emotionally expressive child, yaitu membesarkan seorang anak yang ekspresif secara emosional. Jadi, kalo anaknya terlalu ekspresif justru harus disyukuri karena nggak perlu susah-susah telepati nebak perasaan si anak. Akan sulit baginya untuk membohongi ortunya 😀 

Tengoklah kasus pembunuhan Ade Sara belum lama ini. Bu Elly Risman yang bilang “Their brain has gone wrong” tentang pelakunya pun menyinggung adanya saham ‘kematangan emosional’ yang bermasalah. Berarti masalah emosi yang tidak teratasi itu bisa menghasilkan dua kondisi pada kejahatan: jadi pelaku (naudzubillah) atau kalo jadi korban, dia tidak berani melawan, mencari perlindungan, atau parahnya berlanjut depresi dan trauma 😦

Anak perlu tahu bahwa perasaan tak cukup disimpan di dalam hati. Perasaan perlu diungkapkan. Di kemudian hari keterampilan ini akan sangat bermanfaat dalam setiap hubungan yang dijalinnya. Banyak sekali hubungan yang mengalami kegagalan karena orang-orang yang terlibat di dalamnya tidak mampu mengartikulasikan perasaan yang dialami. (sumber: AyahBunda online)

So, Mom and Dad.. talk to your kids! Even they looks not understand your words, their brain works to keep that valuable taught.

mother-talk-to-your-children

Kapan terakhir kali seorang Mama ngobrol dari hati ke hati sama anak kaya gini? Jadi ortu sekarang perlu alokasi “curhat time” di agenda kayanya, mengingat banyaknya ancaman di luar sana.

Di sekolah, tapi kenapa bisa terjadi?

Kenapa ya? Kira-kira kenapa? Ah, saya sendiri juga nggak bisa jawab sih karena pernah mengalaminya di tempat yang sama! Hiks.. hiks.. cup, cup, saiki #akurapopo kok. Oke, mari kita masuk sesi buka-bukaannya…

Alkisah, pada era 90-an, saya seperti layaknya kebanyakan anak-anak lain di masa itu, belum kenal yang namanya seks. Komputer dan ponsel masih jadi barang langka di Indonesia, masa sosial media belum kebayang, paparan dari media massa pun sepertinya tidak sekejam sekarang. Atau kami yang terlalu polos karena tinggal di kota kecil? Semoga tidak ya.. tapi setidaknya saya dan teman-teman sepermainan yang berlanjut dari SD ke SMP baru mulai kenal dunia biru itu ketika SMP. Soal jatuh cinta sih udah mulai ya.. taksir-taksiran sama teman seangkatan, kakak kelas, bahkan sampai kejar-kejaran juga saya alami di usia yang sama: sembilan tahun. SD kami dikenal yang paling bergengsi seantero kota ketika itu.

Di kelas setingkat itu, kelas 4 SD, kami mulai dapat pelajaran baru (maaf, saya samarkan). Nah, disinilah ‘malapetaka’ yang dulu saya anggap hanya sebagai ‘kerisihan’ menimpa kami, para siswa perempuan. Agak nggak enak nyebutnya, tapi apa daya harus saya ungkapkan demi mengambil hikmah, guru pelajaran baru kami itu punya kebiasaan aneh yang pada saat itu, sekali lagi, tidak saya mengerti sebagai bentuk pelecehan seksual. Si bapak ini, tiap kali usai menjelaskan pelajaran, biasanya ngasih tugas, lalu berkeliling memeriksa pekerjaan siswa-siswanya. Pada saat itulah si bapak melancarkan aksinya. Sambil berdiri atau duduk di kursi kami (ya, ndusel di kursi yang sudah kami duduki itu atau kalo beruntung ada kursi kosong, dia duduk di situ), si bapak (maaf) meraba daerah kewanitaan kami :shock:.

Hal itu terjadi berulang-ulang, tapi anehnya, tidak ada satu pun siswa perempuan yang teriak, marah, apalagi mengadu, juga siswa laki-laki pun entah tahu atau tidak, diam saja. Hanya saja, saya dan teman-teman perempuan waktu itu pernah saling bertanya apakah ‘segitiga’-mu dipegang atau tidak. Saya masih ingat betul istilah yang merepresentasikan miss V itu. Namun, hanya sebatas itu kami mengeluh. Tidak berani saya protes langsung ke si bapak, tapi saya selalu menghindar ketika dia datang dan sebisa mungkin menjauhkan jangkauan tangannya. Astaghfirullah, ya Rabb… bagaimana mungkin kami bisa sepasrah itu dulu? Kami masih beruntung bagian sensitif lainnya tidak terjamah dan keadaan kami masih berpakaian seragam lengkap, tapi tidak menutup kemungkinan hal yang lebih buruk terjadi pada siswa lain.

Singkat cerita, para korban tidak ada yang mengadukan kelakuan si bapak hingga kami akhirnya naik kelas dan berjumpa dengan guru lain untuk pelajaran yang sama, tapi kami masih mendengar cerita serupa terjadi pada adik kelas kami. Di antara kami pun sepertinya tidak berani bercerita ke orang tua, termasuk saya, dan mungkiiin bukannya sekedar tidak berani, tapi juga menganggapnya tidak penting untuk cerita… sangat disayangkan.

Tahun demi tahun berlalu, kalo tidak salah saat saya kuliah, saya dengar mantan guru saya itu, yang ternyata masih mengajar anak SD di sekolah lain, diadukan ke polisi atas tuduhan pelecehan seksual pada anak. He deserved that, huh? Bayangkan, selama bertahun-tahun itu, sudah berapa anak yang jatuh jadi korbannya? wallahu’alam. Deg! Jujur saat dengar kabar itu saya sangat menyesali kebodohan di masa lalu yang tidak melaporkan kelakuan sang guru.

foto-pelepasan-SD

Saya dan sahabat-sahabat dekat, kecuali baju putih, ketika kelas 6 SD. Masih unyu-unyu kan? Tega yah yang nakalin *ceritanya ilustrasi*

Anyway, ketimbang sekedar menyesali kebodohan di masa lampau, lebih baik kita ambil hikmahnya. Pelajaran yang bisa dipetik dari pengalaman saya di atas dan yang sedang menimpa korban AK tentu menjadi lebih penting. Di media massa, sering disebutkan bahwa pengawasan pihak sekolah terhadap anak harus ditingkatkan. Itu tindakan preventif yang paling minimal menurut saya karena kalo sudah berhubungan dengan oknum dewasa, andai ada 10 cara pengawasan, pelaku bisa punya 11 cara lolos dari pengawasan. Buktinya, JIS, lokasi pelecehan yang lagi kita obrolin, meskipun udah dilengkapi ratusan kamera pengintai, tetap bisa kecolongan. Selain sekolah berada di posisi defensif, sebaiknya anak juga diajari ‘posisi’ ofensif biar kalo dilecehin berani nyerang. Kalo anak udah ‘galak’, pelecehan ke AK dan saya kecil tentu tak perlu terjadi lebih dari sekali sampai bisa terbongkar. Ehem.. saya kurang galak berarti pas kecil, sekarang malah overdosis :lol:. Kembali lagi ke soal komunikasi anak-anak dengan orang tua tadi. Gimana caranya mendorong anak biar berani ngomong, biar peka sama kejadian tak normal disekitarnya itu bukan hanya tugas orang tua, melainkan juga institusi pendidikan.

Yah, itu pendapat sotoy  aja sih.. berdasarkan pengalaman pribadi juga. Sebagai anak yang pernah kecil (ya iyalah), saya sih merasa dari dulu sangat minim komunikasi intim dengan orang tua atau guru. Pembicaraan antara kami kebanyakan berkisar antara akademik dan kegiatan tambahan saja. Jarang (atau malah nggak pernah?) lah bicara cinta, kriminalitas, kondisi bangsa, amalan religius… boro-boro dah, padahal semuanya penting dibahas, bahkan yang dianggap ‘tabu’ sekali pun seperti seks. Why not? minimal diajari apa yang boleh dan tidak boleh 😉 Bisa dibayangkan gimana anak zaman sekarang yang beban sekolahnya jauuuh lebih berat ketimbang zaman 90-an dulu. Mikirin biar nilai-nilai selamat aja udah menyita waktu, tenaga, pikiran, bahkan isi kantong.

Masalah di negeri kita ini kan sekolah belum menjadi tempat untuk membentuk karakter yang baik pada anak, yang bisa menghasilkan kepribadian tangguh, jujur, bertanggung jawab, santun, peduli, punya prinsip, dll. Ibu-ibu lebih hafal lah ya kriterianya… salut untuk orang tua yang mau bekerja keras meng-catch up (mengejar ketertinggalan) pendidikan spiritual dan emosional anaknya, mau susah-susah belajar dari baca buku, ikut seminar, berkonsultasi dengan pakar, dsb. demi memberikan pengasuhan terbaik. Sayangnya, berapa banyak sih orang tua yang bisa kaya gitu? Kalo pun mereka ingin, kadang itu berbenturan dengan waktu.

Tentu kita berharap sekolah di negeri ini nantinya akan punya porsi lebih besar untuk mengajarkan moral pada anak-anak di pendidikan dasar seperti di Jepang. Majunya Jepang merupakan bukti bahwa ‘mengorbankan’ jatah jam pelajaran akademis untuk mencekokkan nilai-nilai moral itu bukanlah hal yang sia-sia, melainkan justru investasi besar yang keuntungannya dapat dipanen sewaktu-waktu, baik ketika masih anak-anak maupun sudah dewasa.

Jadi, sekolah mentereng bukan jaminan nih anak kita aman dibuli dan membuli? Absolutely yes! Tapi tunggu dulu, ini akan kita bahas di segmen terakhir ini. Nggak cuma perkara pendidikan nonakademis ke anak aja.

Oknum ada di mana-mana
Dalam kasus pelecehan di JIS tersebut juga diketahui pelakunya adalah petugas cleaning service, artinya pegawai di sekolah yang merupakan pihak eksternal dari si anak / korban. Lebih spesifik lagi dikabarkan bahwa mereka, yang lebih dari seorang itu, hanyalah pegawai outsourcing alias didatangkan dari pihak lain berdasarkan kontrak. Nah lho, gimana tuh ngontrolnya? taruhlah anaknya udah bener, sekolahnya udah bener, eh ada oknum dari antah berantah yang merusak. Hal semacam ini ibarat kata-kata bijak yang bilang bahwa kejahatan di muka bumi ini tak bisa dibendung, yang bisa dilakukan hanyalah meminimalisirnya dan melawannya dengan kebaikan yang lebih banyak.

Oknum bejat seperti kawanan cleaning service yang cuma outsourcing, tapi kurang ajar itu (astaghfirullah.. astaghfirullah..) bisa hadir di mana-mana, di toilet rumah ibadah sekali pun. Jadi, kalo di berita disebutkan dalam kasus-kasus serupa sejak 2010 beberapa diantaranya justru dilakukan di tempat yang seharusnya aman bagi anak (panti asuhan, sekolah dasar, dsb.), tidak semata karena institusinya buruk, tapi memang ada oknum yang khilaf. Saya miris aja kalo masyarakat mudah terpancing emosinya dan melampiaskan hanya pada institusi terkait tanpa melihat lebih obyektif. Juga, jangan deh kita judge profesinya lalu kita jadi sentimen sama orang-orang dengan profesi sejenis. Nyatanya, pelaku bisa dari guru, petugas kebersihan, bahkan pemilik institusi. Mau pilih homeschooling? Mau anak dikurung di rumah aja? Kayanya bukan solusi juga deh dan bukan jaminan bebas dari kejahatan. Idealnya kalo bekal keberanian anak kuat, budaya diskusi dan kebiasaan bicara hal ‘tabu’ udah mendarah daging, dan dukungan pihak eksternal seperti institusi bagus, orang tua insyaaAllah nggak  paranoid sekali pun mengirim anaknya sekolah di luar kota, di boarding school, di pondok pesantren, dsb.

Balik lagi ke pertanyaan yang belum terjawab tadi: gimana dong antisipasinya? Menurut saya, kontrol sosial mutlak dibutuhkan. Satu hal yang patut kita syukuri hidup di Indonesia sebenarnya adalah masyarakatnya sangat sosial sampai-sampai suka ngurusin dan ngomongin orang lain… ups. Cuma nggak tahu deh kenapa masih ada kasus yang begini-gini. Ada oknum nggak wajar, nggak cuma seorang pula, tapi nggak ketahuan sama pihak sekolah. Kabarnya korban bukan hanya satu. Berarti memang pelakunya betul-betul punya perilaku seks menyimpang (baca: paedofilia) dan kebutuhan dipuaskan itu selalu muncul. Orang-0rang kaya gitu saya duga sedikit banyak kelihatan dari obrolan, gestur tubuh, gerak-gerik, dan… isi ponselnya! Coba aja, pak penyidik, dicek ponsel dia, tablet dia, komputer dia (kalo punya :P) barangkali ada yang nggak beres. Soalnya, mantan guru saya yang kurang ajar itu juga kelihatan dari pandangan matanya (nooo…), rada-rada nafsu kalo lihat cewek, padahal kan kami masih SD gitu loh!!! Belum ‘tumbuh’ juga! Grrr…

Well, hati-hati deh saudara-saudariku, kalo nemuin orang yang gelagatnya aneh… segera aja dimata-matain, daripada jatuh korban, apalagi kalo Anda mengemban amanah sebagai pendidik, pengayom, pengasuh, dsb. besar tanggung jawab untuk memastikan lingkungan anak aman dari gangguan.

Last but not least, ajari anak untuk melawan orang yang berbuat jahat, bela diri kalo perlu. Diajari sikap defensif saja, seperti tidak berbicara pada orang asing, tidak cukup untuk mengamankan mereka. Bela diri ala Padang yang pernah saya baca dari kisah Buya Hamka tuh kayanya mantap abis. Jurus-jurus dasarnya saja udah cukup membekali diri terhadap serangan musuh. Benarlah apa yang dinasihatkan Nabi kita:

“Ajarilah anak-anak kalian berkuda, berenang dan memanah” (H. R. Bukhari/Muslim)

Jangan lupa berdoa untuk keselamatan anak-anak yang kita cintai. Bukan hanya anak sendiri, tapi juga keponakan, anak tetangga, anak didik, bahkan anak jalanan yang baik-baik. Mereka semua aset berharga bagi masa depan bangsa. Kita punya banyak… banyak sekali anak-anak… tidak seperti Jepang yang angka kelahirannya hanya 1 orang/ keluarga. Sedih kan kalo banyak yang hancur :cry:. Tak lupa kita doakan semoga proses hukum kasus pelecehan anak di JIS bisa berjalan lancar dan adil. Aamiin.

Catatan: Saya bukan ahli parenting, mohon maaf kalo banyak salah kata dan sesat pendapat 😀

Leave a comment

6 Comments

  1. semoga tidak terulang lagi kasus seperti ini ya. saya juga pernah mengalaminya waktu SD persis seperti cerita emak. tapi saya selalu berani menolak. ada teman2 lain yang tidak berani menolak. memang sepertinya indonesia sudah dalam kondisi darurat moral. apa yang bisa kita lakukan di luar rumah ya?

    Reply
    • Halo mak Khusnul.. pasti dr KEB ya, makasih kunjungannya 🙂 Aamiin, semoga tidak terulang lagi, setidaknya dgn kasus ini banyak masyarakat yg tersadar utk lebih waspada. Wah, hebat itu kalo berani ngomong.. kalo saya emang beneran ga paham begituan (kalo itu pelecehan, bahaya, kelainan, pelaku bisa dihukum, dsb.). Sayang, korban2 selanjutnya agaknya pun seperti itu shg baru bbrp tahun kemudian terbongkar 😦

      Nah, kmrn nyimak obrolan ibu2 ttg bbrp tips kalo anak lagi di luar rumah:
      – dicari kalo waktunya pulang dia belum pulang, baik sekolah / kegiatan lain
      – diantar sampai tempat beraktivitas dan dijemput, sampai usia berapa tergantung kondisi anak masing-masing
      – kenali teman main anak, seperti rumahnya di mana (agar tahu lingkungannya), anak siapa (bekgron keluarga)
      – di sekolah / institusi tempat anak dititipkan utk belajar, kenali jg guru dan staf2nya, kalo perlu menjalin hub. baik / akrab dgn mereka
      – guru juga harus peka kalo muridnya izin ke toilet / keluar kelas nggak balik-balik, musti segera dicari, kasus di JIS dianggap khalayak krn guru abai juga
      – membekali anak-anak dgn rule khusus berinteraksi dgn orang asing

      Apa lagi ya, Mak? Tambahin ye kalo ada ide. Semoga Allah lindungi anak2 kita.

      Reply
  2. Aduh mak makasih sharenya..saya juga merasa wkt kecil jarang ada onto lam intim dg ortu tentang perasaan hanya akademik dan sejenisnya..pelajaran buat saya sebagai ortu sekarang untuk lebih dekat dgn anak, membentenginya dari Hal yg bisa merusaknya. Kok jadi sedih yaaa

    Reply
    • Sama-sama, mak Kania..duh banyak ya yg ngalamin hal serupa. Teman2 yg komen di blog, FB, messenger jg pada punya cerita 😦 Iya nih PR bgt deh bikin komunikasi akrab antara ortu n anak biar anak nggak kagok curhat ke papa mamanya sendiri. Pengalaman kita mudah2an nggak terulang lagi ya.. krn kan skrg zamannya udah lebih bebas, nggak kaku ala dulu, dulu ada gap lebar sepertinya antara anak muda dan orang dewasa. BTW onto lam apaan yah? #gagalpaham hehe. Semangat mak..

      Reply
  3. mba ega, saya butuh contoh yg lebih kongkrit, sesi2 obrolan intim dgn anak itu misalnya membahas apa aja? harus gimana cara nanyanya?
    kurang kebayang ama saya krn bisa dibilang keluarga sy jg dulu hampir gak pernah ngobrol intim..
    makasih ya sebelumnya 🙂

    Reply
    • Mbak Dilla, sebetulnya tidak ada jawaban sakleknya seperti apa, tapi intinya anak dibiasakan untuk cerita apaaa aja ke orang tua (selama dia masih berstatus tanggung jawab ortu ya..), membuat anak merasa nyaman untuk menjadikan ortunya itu pilihan pertama teman curhat, dgn begitu akan jadi hub. bertambah dekat, akrab, alias intim (makna kata ini di KBBI memang ‘karib’ atau ‘akrab’ lho ya.. jangan diasosiasikan ke yg lain :P). Saya termasuk yg kaya keluarga mbak dan teman2 lain juga bilang begitu. Mungkin emang gaya didikan yg terpengaruh zaman dulu dgn segala tata krama, unggah-ungguh ke ortu. Jarang bisa terbuka dgn masalah pribadi ke ortu, sering dipendam dan diselesaikan sendiri / dgn teman, padahal ortu pasti senang jika mereka lebih dipercaya anak ketimbang pihak lain. Saya belum praktik ke anak sendiri, hanya bds pengalaman pribadi.

      Kalo dihubungin sama konteks tulisan ini, yg dibahas berarti termasuk anitisipasi tindak kejahatan. Ada artikel bagus nih dari AyahBunda online utk contoh cara nanyanya:
      http://www.ayahbunda.co.id/Artikel/Balita/Psikologi/menjelaskan.kekerasan.pada.anak/001/007/1308/2

      Reply

Leave a reply to Ega Dioni Putri Cancel reply