Warning: Cerita berikut adalah lanjutan dari cerita ini.
Pulang dari Food Fezt, saya sebenarnya capek banget. Tapi Mom yang nyusul ke Jogja bareng sodara ternyata sampai di Jogja nggak lama kemudian dan langsung mengabarkan rencana jalan-jalan di Malioboro malamnya. Hah, yang benar saja, ke Malioboro malam-malam sama dengan melewatkan kesempatan bertemu dengan banyak pedagang kaki lima di sana.
Akhirnya, malam itu saya dan adik saya diboyong ke hotel. Hotel yang kami tempati ternyata lokasinya tidak jauh dari SMA saya. Konon, waktu itu susah banget nyari hotel karena hotel-hotel di Jogja udah pada penuh. Jogja sepertinya memang masih jadi tujuan wisata favorit turis lokal dan mancanegara. Enam kamar yang kami dapat di hotel itu aja adalah kamar-kamar terakhir yang masih kosong.
Saat kami bersiap-siap akan berangkat ke Malioboro, sekonyong-konyong kami kaget melihat sebuah bis pariwisata yang ukurannya super gede nangkring di parkiran hotel. Dengan suksesnya dia menutup celah kendaraan apa pun yang diparkir sebelumnya untuk keluar dari area parkir, termasuk dua mobil rombongan keluarga saya. Sebagai informasi, lebar area parkir adalah selebar body bis dan dengan adanya bis tersebut, area tersebut langsung penuh dengan posisi bokong bis menyentuh pagar hotel sehingga seandainya ada tamu hotel berikutnya yang mau parkir, maaf saja…tidak ada space lagi untuknya. Huah…cape de. Akhirnya beberapa perwakilan dari keluarga saya pun bernegosiasi ke pihak hotel memperjuangkan keadilan. Tak disangka, entah bagaimana kronologisnya, yang jelas pihak hotel tidak bersedia mengupayakan bagaimana agar dua mobil kami dan mobil tamu lainnya bisa keluar. Saya heran. Tidak bisakah mereka memanggil sopir bis kemudian menyuruhnya mengeluarkan bisnya sebentar? Apakah setiap hari keadaannya memang seperti itu? Kenapa mereka nggak perkiraan luas lahan parkir mereka sehingga membuat kebijakan yang adil bagi seluruh tamunya? Pertanyaan-pertanyaan itu menjejali pikiran saya tanpa ada jawabannya.
Akhirnya (lagi) diputuskanlah bahwa kami naik becak ke Malioboro. Ibu saya menyebut sikap ‘mengalah’ kami itu sebagai sebuah bentuk “berbagi rezeki dengan tukang becak”. Oke, ide bagus. Itu pertama kalinya saya naik becak malam-malam di Jogja. Asyik juga. Apalagi saat itu, rute yang harus kami lewati adalah kompleks keraton, alun-alun kota, dan sekitarnya.
asyik terpukau lalu lalang orang di jalan
ramai sepeda beriringan
senyum menawan wajah ramah memberi salam
hati terhanyut damai tentram
…
-Jogja Tanpa Akhir, Katon Bagaskara-
Kami turun di ujung jalan Malioboro bagian selatan. Saya baru tahu, Jogja rupanya sedang dalam masa perayaan Sekaten, yaitu semacam event untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW yang bisa Anda baca detilnya di sini. Huhu, sebenarnya pengen ke sana saja, tapi ketua rombongan kami (baca: sesepuh-sesepuh keluarga yang ikut saat itu) tidak ingin mengubah rencananya jalan-jalan di Malioboro. Ya sudah. Walaupun, saya pernah dua tahun di Jogja dan ditambah beberapa kali main ke sana dalam rangka liburan, saya sebenarnya belum pernah datang ke Sekaten.
(more…)