2022 Ternyata Tahun Macam Ini

Adakah yang merasa tahun ini berjalan begitu cepat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya? Makin singkatnya waktu mungkin sudah lama kita sadari, tetapi aku merasa bulan demi bulan pada 2022 berganti lebih tergesa lagi. Bisa jadi, hal itu dipengaruhi oleh kembalinya denyut aktivitas manusia seperti sebelum pandemi sehingga kita macam sedang mengejar aneka kesibukan yang sempat melambat. Nah, bagiku, ternyata tahun 2022 diwarnai oleh kegiatan-kegiatan di bawah ini.

Read the full post »

Pembenci Sama Pentingnya dengan Pencinta

“Kalah itu sama pentingnya dengan menang. Dengan kalah, kita jadi tahu kelebihan lawan dan kekurangan kita apa. Lain kali kita tingkatkan lagi.

Begitulah nasihat inspiratif pelatih sepak bola anakku ketika tim mereka kalah dalam bertanding. Dibenci orang sama pahitnya dengan kalah, tetapi Jessica Wildlife dalam Medium menulis bahwa haters merefleksikan kekuatan dan kelemahan terbesar kita.

“Karakter kita yang paling menonjol sering kali paling menarik kebencian,” sambungnya.

Bulan November lalu, ada satu momentum yang tidak pernah terbayang akan kualami di usia kepala tiga. Kehidupanku selama ini berjalan damai, penuh cinta dari keluarga dan teman-teman, dan sangat padat oleh kesibukan mengurus anak serta rumah. Aku mencintai kegiatan-kegiatan sosial yang melibatkan diaspora Indonesia atau warga lokal, maka aku bergabung dengan banyak komunitas untuk mewujudkannya.

Read the full post »

Tujuanku Menjadi Sukarelawan Lingkungan

Menjadi green volunteerーkuterjemahkan sebagai “sukarelawan lingkungan”ーsudah lama terbersit di benakku. Sejak awal menginjakkan kaki di Negeri Sakura, selain pengelolaan sampah yang detail, aku penasaran dengan masifnya penanaman bunga di sini. Hampir semua keluarga dan temanku yang pernah datang ke Jepang pun berkomentar tentang bunga-bunga cantik di sini. 

Di tepian jalan, sudut-sudut kota, depan stasiun-stasiun, dan tentu saja taman-tamannya, selalu bisa ditemukan hamparan bunga yang terawat baik. Bukan hanya musim semi saja pemandangan seperti itu ada, melainkan sepanjang tahun. 

Tahun demi tahun berlalu, aku ternyata hanya jadi penikmat keindahan ruang hijau di Jepang. Baru sekitar dua tahun lalu, aku mulai mencoba menanam sesuatu di kebunku. Awalnya, tujuanku merambah gardening adalah agar halaman belakang rumahku tidak sepi dan mubazir. Tren bercocok tanam selama pandemi juga sedikit banyak memotivasiku. Lama-lama, merawat makhluk Tuhan selain manusia itu menjadi panggilan hatiku sesekali. Ada efek healing yang kudapat saat melihat pertumbuhan tanamanku.

Read the full post »

Hukum Lemah, Rakyat Mati Rasa

Sudah lama, kan, enggak dengar berita-berita macam ini? Orang mah udah ngomongin coding (pakai) phyton, ini kok masih tawuran gara-gara bola. Astagfirullah!

Mbak Nisa, temanku satu pengajian yang merupakan istri seorang ekspatriat, mengirimiku pesan singkat di atas sebagai respon terhadap tragedi kerusuhan sepak bola antara Arema dan Persebaya di Stadion Kanjuruhan. Aku yang jauh saja syok, apalagi Mbak Nisa yang baru sehari menginjakkan kaki kembali di negeri sendiri setelah hidup nyaman dan tenteram di Negeri Sakura. Kejadian yang menelan banyak korban tersebut tentu mengguncangkan perasaannya.

Sejak dua minggu lalu, Mbak Nisa sering menyebut-nyebut “NKRI price die” (NKRI harga mati) ketika kami berdiskusi di aplikasi messenger. Dari obrolan kami, tampak bahwa kami sefrekuensi dalam hal keinginan untuk memberikan sumbangsih ke tanah air, tetapi masih dihantui oleh rasa was-was akan birokrasi yang tidak mendukung idealisme dan penegakan hukum yang lemah.

Bagi diaspora yang sudah lama tinggal di Jepang, sebuah negeri taat hukum, wacana BFG (Back For Good) memang menjadi isu supersensitif. Nyali mudah ciut ketika membayangkan harus keluar dari kebiasaan hidup di lingkungan yang aman dan tertib dengan segala fasilitas bonafide.

Belakangan ini, aku sendiri sangat khawatir dengan meningkatnya kasus-kasus kriminalitas yang terasa makin “berani”. Nyawa rasanya kurang dihargai. Jika kita melihat kanal berita terkini, banyak kasus pembunuhan atau penganiayaan yang seolah-olah pelaku mati rasa saat menyakiti korbannya. Sebut saja berita Brigadir J, siswa pondok pesantren Gontor, pemukulan di SPBU Palembang, hingga yang terbaru: KDRT artis berinisial “LK” yang juga membuat bulu kudukku berdiri.

Ada apa dengan manusia-manusia akhir zaman ini?

Semua kejahatan itu mungkin sebenarnya sudah terjadi sejak dulu. Namun, aku mengamini poin yang disebutkan Hotman Paris di podcast Deddy Corbuzier ini.

“Kenapa bisa makin parah? Kenapa bisa makin banyak?” tanya Deddy mempertanyakan keadilan yang makin sulit didapat oleh rakyat ekonomi lemah.

“Ya mungkin karena penduduk makin banyak. Kayaknya kurang perhatian dalam hal penegakan hukum oleh pimpinan kita, baik dalam hal pidana maupun perdata … pengawasan juga kurang … semakin mundur kita!” jawab pengacara kondang itu.

Pernyataan Bang Hotman tersebut seolah memvalidasi keprihatinanku selama ini. Aku merasa di periode kedua pemerintahan Jokowi ini, Ibu Pertiwi terlalu sibuk berbenah secara fisik, tetapi keteteran sekali dalam upaya revolusi mental. Bukankah ketaatan rakyat terhadap hukum berbanding lurus dengan kepercayaan kepada aparat penegak hukum? Lantas, bagaimana jika para aparat itu sendiri ternyata banyak yang kebal hukum dan masih diselimuti mental kongkalikong? Jangan salahkan rakyat apabila rasa kemanusiaan pun perlahan ikut mati.

Kena Covid, Gejala Berubah Setiap Hari

Ketika varian Omicron muncul, mulai banyak orang-orang di inner circle-ku yang silih berganti terinfeksi Covid-19. Saking banyaknya yang kena, mau tak mau aku jadi kehilangan rasa amanku meskipun sudah vaksin tiga kali. Bulan demi bulan berlalu hingga mutasi si virus berubah dari BA.1 menjadi BA.2, kemudian BA.4, lalu terakhir BA.5. Qadarullah, pada saat merebaknya subvarian BA.5 di seluruh Jepang inilah, aku termasuk yang terkonfirmasi positif Covid-19.

Pada hari munculnya gejala, perubahan kondisi tubuhku begitu cepat hingga sempat membuatku sulit percaya bahwa akulah yang terkena Covid-19. Pasalnya, anggota keluargaku yang lainnya justru lebih dulu menunjukkan gejala sakit sejak beberapa hari sebelumnya. Ketika itu, aku terbangun dengan sakit tenggorokan. Sakit itu hilang begitu aku makan dan minum. Siapa sangka, beranjak siang, tiba-tiba seluruh sendiku ngilu sekali, disusul pusing dan rasa menggigil walaupun suhuku hanya naik sampai 37,2 derajat. Aku mendadak jadi orang yang paling lemah di rumah.

“Ini aku Covid, deh, kayaknya. Beda kok rasanya sama meriang biasa,” kataku kepada suami. Ia sendiri sudah tes antigen sejak merasa tak enak badan tiga hari sebelumnya dan hasilnya negatif.

Sementara itu, anak-anak, yang kala itu juga sudah batuk-batuk, masih kami asumsikan hanya sedang kumat alergi asmanya karena sedang perubahan musim. Begitu selesai inhalation atau diberi nebulizer, batuk mereka hilang.

Read the full post »

Mengenang Tahun-tahun Sebelum Merdeka

Selamat ulang tahun, Indonesia! Dirgahayu serta mulia, semoga bisa menjadi negeri yang baldatun thayyibatun, thayyib (baik) pembangunan materialnya dan juga thayyib mental manusianya. Pada tahun ke-77 merdekanya Indonesia ini kami masih menantikan tahun terbaik untuk kembali ke tanah air meskipun selama ini, dalam kontribusi sekecil apa pun di tanah mana saja, kemajuan dan nama baik bangsa Indonesia adalah bara semangat kami menjalani kiprah.

Melihat foto jadul kami pagi ini membuatku jadi penasaran ingin mengingat lagi transisi dari zaman kerajaan ke periode kolonial hingga kita merdeka. Maka, di sela kesibukan packing sebelum bertolak ke Bandung dan menyimak upacara bendera di sekolah depan rumah, kubaca lagi sejarah bangsa yang kini patut berbangga karena menempati posisi ke-7 dunia dilihat dari GDP PPP-nya ini.

GDP (Gross Domestic Product) versi PPP (Purchasing Power Parity) merupakan ukuran kesejahteraan suatu negara jika dilihat dari keseimbangan kekuatan berbelanjanya dengan membandingkan nilai tukar mata uang di negara masing-masing untuk produk dan jasa tertentu. Metode ini dinilai lebih adil jika dibandingkan dengan melihat pendapatan negara per kapita terhadap mata uang dolar Amerika yang selama ini dijadikan patokan. Namun demikian, dengan patokan dolar Amerika pun, Indonesia masih berada di urutan ke-16 dunia hingga berhasil dipercaya menjadi tuan rumah konferensi G20 tahun 2022 ini.

Lurik, yakni kain bermotif garis-garis yang kami kenakan di foto jadul kami, diduga sudah ada sejak abad ke-10, saat kerajaan Hindu-Budha seperti Majapahit berjaya. Awalnya, tenunan khas Jawa tersebut hanya dipakai sebagai selendang, lalu berkembang menjadi baju rakyat biasa karena murah, sampai akhirnya malah dijadikan bahan dasar pakaian takwa para raja serta abdi dalem yang disebut “surjan”.

Model dan tata cara penggunaan surjan diatur secara resmi oleh Kesultanan Mataram sekitar tahun 1700-an. Bisa dikatakan bahwa surjan mendapat pengaruh besar dari gaya baju koko. Pada abad ke-18 itu, etnis Tionghoa memang sudah menjadi elemen yang tak terpisahkan dalam masyarakat Nusantara. Mereka mulai melakukan perlawanan terhadap VOC yang telah seabad “mengusik” ketenangan mereka berbisnis di negeri kita.

Meskipun mendapatkan benturan-benturan dengan pribumi dan pendatang seperti etnis Tionghoa tadi, selama tahun 1700-an VOC tetap bertahan di Nusantara. Mereka sibuk menjalankan praktek monopoli komoditas, dari mulanya hanya rempah-rempah sampai meluas ke sektor lainnya. Satu per satu wilayah di Nusantara mereka coba taklukkan perdagangannya, tetapi rupanya upaya tersebut bukanlah misi yang mudah.

Baru setelah Kesultanan Mataram runtuh di akhir abad ke-18, yang konon disebabkan oleh bencana alam, VOC mulai melihat peluang untuk mengintervensi pemerintahan. Tanpa masuk ke politik, agaknya nihil mereka bisa mencapai tujuan untuk menguasai sumber daya di Nusantara. Sejak itu, pemberontakan-pemberontakan, baik dari kelompok Tionghoa maupun pribumi, makin banyak bermunculan.

Seratus tahun berikutnya, VOC yang sejatinya hanya organisasi dagang itu dibubarkan oleh pemerintah Belanda. Di bawah kendali negara, Belanda justru bertambah kuat dan kalap dalam menguliti kekayaan Nusantara. Bukan hanya hasil bumi saja yang mereka rampas, melainkan juga sumber daya manusia. Tahun-tahun di abad ke-19 (1800-1900) menjadi masa yang paling kelam dan banyak pertumpahan darah dari anak bangsa kita.

Kembali setelah seratus tahun lamanya, Belanda agak sadar diri. Pada 1901, Ratu Wilhelmina, menetapkan politik balas budi yang salah satunya memberikan pendidikan kepada pribumi. Anak-anak muda kita pun jadi lebih pintar dan akhirnya memahami akan jati dirinya sebagai bangsa Indonesia yang harus berdaulat. Hanya tujuh tahun setelahnya, Budi Utomo lahir dan menjadi pelopor gerakan nasional yang membawa kita pada kemerdekaan.

You can thank her now!😃

Berdiri Kukuh di Negeri Wakanda. Bisakah?

Sejak kapan Anda melihat meme atau membaca anekdot yang menyindir kelakukan manusia di sebuah negeri bernama Wakanda? Biasanya sindiran tersebut disandingkan dengan perilaku berlawanan dari negara lain, yang disebutkan nama aslinya, untuk memberikan penegasan betapa mirisnya tingkah laku warga Negeri Wakanda. Aku ingin menunjukkan contohnya, tetapi karena kebanyakan foto dan video, hasil pencarianku nihil. Hanya gambar berikut yang berhasil kutemukan:



Padahal, menurut Hikmat Darmawan, seorang penulis dan pengamat sosial di Indonesia, dalam film Black Panther, Wakanda aslinya justru digambarka sebagai negeri yang kaya, maju, dan memiliki banyak juara hebat (baca selengkapnya di sini). Warganet mengatakan bahwa menyebut “Wakanda” ketimbang “Indonesia” akan membuat kita lebih aman dari jeratan UU ITE ketika ingin mengatakan yang jelek-jelek, misalnya mengritisi kebijakan pemerintah.

Read the full post »