Selamat ulang tahun, Indonesia! Dirgahayu serta mulia, semoga bisa menjadi negeri yang baldatun thayyibatun, thayyib (baik) pembangunan materialnya dan juga thayyib mental manusianya. Pada tahun ke-77 merdekanya Indonesia ini kami masih menantikan tahun terbaik untuk kembali ke tanah air meskipun selama ini, dalam kontribusi sekecil apa pun di tanah mana saja, kemajuan dan nama baik bangsa Indonesia adalah bara semangat kami menjalani kiprah.

Melihat foto jadul kami pagi ini membuatku jadi penasaran ingin mengingat lagi transisi dari zaman kerajaan ke periode kolonial hingga kita merdeka. Maka, di sela kesibukan packing sebelum bertolak ke Bandung dan menyimak upacara bendera di sekolah depan rumah, kubaca lagi sejarah bangsa yang kini patut berbangga karena menempati posisi ke-7 dunia dilihat dari GDP PPP-nya ini.
GDP (Gross Domestic Product) versi PPP (Purchasing Power Parity) merupakan ukuran kesejahteraan suatu negara jika dilihat dari keseimbangan kekuatan berbelanjanya dengan membandingkan nilai tukar mata uang di negara masing-masing untuk produk dan jasa tertentu. Metode ini dinilai lebih adil jika dibandingkan dengan melihat pendapatan negara per kapita terhadap mata uang dolar Amerika yang selama ini dijadikan patokan. Namun demikian, dengan patokan dolar Amerika pun, Indonesia masih berada di urutan ke-16 dunia hingga berhasil dipercaya menjadi tuan rumah konferensi G20 tahun 2022 ini.
Lurik, yakni kain bermotif garis-garis yang kami kenakan di foto jadul kami, diduga sudah ada sejak abad ke-10, saat kerajaan Hindu-Budha seperti Majapahit berjaya. Awalnya, tenunan khas Jawa tersebut hanya dipakai sebagai selendang, lalu berkembang menjadi baju rakyat biasa karena murah, sampai akhirnya malah dijadikan bahan dasar pakaian takwa para raja serta abdi dalem yang disebut “surjan”.
Model dan tata cara penggunaan surjan diatur secara resmi oleh Kesultanan Mataram sekitar tahun 1700-an. Bisa dikatakan bahwa surjan mendapat pengaruh besar dari gaya baju koko. Pada abad ke-18 itu, etnis Tionghoa memang sudah menjadi elemen yang tak terpisahkan dalam masyarakat Nusantara. Mereka mulai melakukan perlawanan terhadap VOC yang telah seabad “mengusik” ketenangan mereka berbisnis di negeri kita.
Meskipun mendapatkan benturan-benturan dengan pribumi dan pendatang seperti etnis Tionghoa tadi, selama tahun 1700-an VOC tetap bertahan di Nusantara. Mereka sibuk menjalankan praktek monopoli komoditas, dari mulanya hanya rempah-rempah sampai meluas ke sektor lainnya. Satu per satu wilayah di Nusantara mereka coba taklukkan perdagangannya, tetapi rupanya upaya tersebut bukanlah misi yang mudah.
Baru setelah Kesultanan Mataram runtuh di akhir abad ke-18, yang konon disebabkan oleh bencana alam, VOC mulai melihat peluang untuk mengintervensi pemerintahan. Tanpa masuk ke politik, agaknya nihil mereka bisa mencapai tujuan untuk menguasai sumber daya di Nusantara. Sejak itu, pemberontakan-pemberontakan, baik dari kelompok Tionghoa maupun pribumi, makin banyak bermunculan.
Seratus tahun berikutnya, VOC yang sejatinya hanya organisasi dagang itu dibubarkan oleh pemerintah Belanda. Di bawah kendali negara, Belanda justru bertambah kuat dan kalap dalam menguliti kekayaan Nusantara. Bukan hanya hasil bumi saja yang mereka rampas, melainkan juga sumber daya manusia. Tahun-tahun di abad ke-19 (1800-1900) menjadi masa yang paling kelam dan banyak pertumpahan darah dari anak bangsa kita.
Kembali setelah seratus tahun lamanya, Belanda agak sadar diri. Pada 1901, Ratu Wilhelmina, menetapkan politik balas budi yang salah satunya memberikan pendidikan kepada pribumi. Anak-anak muda kita pun jadi lebih pintar dan akhirnya memahami akan jati dirinya sebagai bangsa Indonesia yang harus berdaulat. Hanya tujuh tahun setelahnya, Budi Utomo lahir dan menjadi pelopor gerakan nasional yang membawa kita pada kemerdekaan.
You can thank her now!😃