[Diary Haji] Hari #11 – Penutup Rukun Haji


Kamis, 17 Oktober 2013 (12 Dzulhijjah 1434H)
Sambungan dari cerita hari ke-10: [Diary Haji] Hari #10 – Saat Maut Terasa Mendekat

Semua hamba Allah Azza wa Jalla yang sudah berhaji kemungkinan besar akan selalu menyimpan kerinduan akan suasana spiritual kental selama di lokasi-lokasi haji, tidak terkecuali Mina. Namun, dewasa ini banyak lembaga mengingatkan bahwa haji cukup sekali sekali pun kita mampu mengulangnya mengingat antrian calon haji yang belum berangkat masih sangat panjang dari seluruh dunia. Saya pribadi nggak pernah ada niat atau sekedar keinginan untuk berhaji lagi meski pun kalo diajakin umrah mau bangeeettt… 😀

Sayonara Tenda Mina

Aktivitas selama bermukim di tenda Mina, termasuk saat kita cabut sehari semalam untuk Arafah dan Muzdalifah, menjadi inti dari haji kita, yang menentukan sah tidaknya ibadah khusus ini. Perkemahan Mina yang dikelola para muassasah di bawah Kementerian Haji hanya disediakan selama musim haji, jadi andaikan kita mengunjungi Mina di luar masa itu yang akan tampak hanyalah padang tandus nan panas.. simply not interesting to visit 😛 Oleh karena itu, boleh lah kita bilang “Sayonara (selamat tinggal) tenda Mina!” untuk pertama dan terakhir kalinya hari ini. Kita mungkin akan berkesempatan datang ke kawasan ini lagi, tapi untuk napak tilas religious sites seperti masjid Al- Khayf, masjid Nimrah, dan Jabal Nur.

Oke, mari kita bernostalgia dan menyelami cerita hari itu.. *berhubung tulisan ini kelarnya jauh setelah hari-H*

Pagi hari ini seperti biasa dimulai dengan konsumsi makanan dan minuman bergizi (uhuk..) persembahan panitia haji. Di tenda kami ada mbak Pakistani (baca: orang berkebangsaan Pakistan, bukan namanya.. LOL) yang rajin nyeduh chai dan kadang bagi-bagi ke temen-temennya (sayangnya saya belum pernah kebagian 😥 ). Namun, para emak dan mbak asli Indonesia biasanya males rempong dan makan jatah dari panitia aja, kecuali kalo dapat jatah Indomie.. nah, itu baru dibela-belain deh cari air panas ke ujung maktab. Wkwkwk.. tapi beneran lho dibagiin mie instan kebanggaan bangsa itu beberapa kali selama menetap di Mina.

11.0 - Hajj activity in Mina tent

Siang harinya, kami berkumpul lengkap bersama seluruh jemaah Mian Travel untuk another rush noon trip to Jamaraat. Di hari terakhir lempar jumrah ini, tidak ada lagi yang ‘kabur’ ke Mekkah.. hihi.

It's time for Big Jamarat! (aka al-Kubra)

It’s time for the last “stoning of the devil” ritual in the Jamarat

The seven pebbles for stoning in each pillar

Sesuai prediksi, berhubung hampir seluruh jemaah memenuhi deadline hari ini, suasana di Jamarat sangat ramai, tapi herannya tidak separah saat hari pertama alias ketika jumrah aqabah. Bisa jadi karena orang-orang juga sudah tahu ‘selanya’, baik dari segi waktu maupun rutenya, dan pastinya tiap rombongan makin terorganisir. Kerja para asykar juga terlihat lebih bagus dalam mengatisipasi gerakan jemaah. Tidak banyak terdengar teriakan di dalam bangunan jamarat 😀

Di hari ketiga ini saya masih punya 28 butir kerikil dari Muzdalifah untuk melempar di tiga tugu seperti hari kedua plus tujuh kerikil cadangan, jadi kalo pun ditakdirkan untuk bertahan hingga besok (yang berarti wajib lempar jumrah lagi) tinggal tersisa tujuh butir dan harus mencari kerikil tambahan. Namun, berhubung kami sudah berniat nazar awal, sehingga sudah harus pulang sebelum Maghrib hari ini. Sebetulnya kita boleh saja pakai kerikil dari tempat selain Muzdalifah, bahkan mengais kerikil bekas orang lain yang jatuh-jatuh di lokasi pun tetap sah kok. Tips memilih kerikil yang enak untuk dilempar sudah saya tulis, ya, di episode sebelumnya!

Rombongan kami seusai melempar jumrah terakhir di Jamarat

Rombongan kami seusai melempar jumrah terakhir di Jamarat

Alhamdulillah, misi lempar jumrah selama hari tasyrik tertunaikan dengan lancar dan selamat tanpa kekurangan sesuatu apa pun, kecuali harus merelakan power bank yang hilang di tenda hari kemarin itu. Sebenarnya saya mengira akan punya lebih banyak waktu di tugunya daripada kenyataan yang ada di mana kami sangat terburu-buru demi menghindari terjangan jemaah yang semuanya berusaha merangsek maju ke depan mendekati pagar pembatas. Memang sih, kalo tak pandai melempar dan kerikilnya terlalu ringan, dengan jarak 3-5 meter dari pagar saja sudah sulit untuk berhasil.

Some people forgot that the meaning of their ibada is conquering “devil” within their own soul right after coming back from Jamarat by throwing away the garbage along the way -_-

Definisi berhasil atau lemparan dianggap sah itu sesederhana kerikil masuk ke area tugu Jamarat, akan tetapi sebagian orang nampaknya belum marem bahasa Jawanya, kalo kerikilnya tidak membentur tugu, yang merupakan simbol syaithan-nya. Wkwkwk.. demi cari aman sih mending jangan terlalu idealis. Yang penting jangan lupa baca takbir saat melempar kerikilnya. Lagipula, walaupun lempar jumrah ini merupakan simbolis dari kisah Nabi Ibrahim a.s. yang berusaha mengusir setan saat hendak menunaikan perintah Allah SWT menyembelih putranya, esensi ritual ini tentu bukanlah menghalau setan beneran, akan tetapi lebih kepada mengingat Allah (dzikrullah) dan refleksi diri dalam memerangi hawa nafsu.

Yang luar biasa, dan selalu mengingatkan kita betapa kecilnya dunia ini, di antara ribuan jemaah yang kami lihat sejauh mata memandang di dalam terowongan Mina dalam perjalanan kembali ke tenda, saya bertemu dengan rombongan dari Cepu! Wow, sesuatu banget! Eitss.. Cepu? Ada di peta, nggak? Oh oke.. hubungan kota ini dengan saya sangat jelas di sini. Yup, hingga saat ini kesanalah saya selalu pulang untuk melihat dua orang tua tercinta.. tsah. Jadi, meski nggak ada yang saya kenal jemaahnya, tetep aja heboh bisa ketemu kelompok sespesifik itu 😀

11.1 - rombongan haji Cepu 2013

Kalo ada pembaca yang kebetulan tinggal di Cepu dan punya kenalan yang berangkat tahun 2013 kaya saya, tolong saya dicolek ya.. belum sempat kenalan sama bapak-bapak dan ibu-ibu yang sempat bertegur sapa 😀

Kembali ke Mekkah

Usai lempar jumrah terakhir, tibalah saatnya kami harus meninggalkan maktab di Mina dengan segala kenangan indah yang tertinggal didalamnya. Pemimpin rombongan kami ingin jemaah bergegas dengan target kami bisa mengikuti salat Asar berjamaah di Masjidil Haram. Direncanakan sejak berangkat bahwa mereka akan mengakomodir jemaah yang ingin langsung pergi ke masjid tanpa turun ke penginapan terlebih dahulu alias barang-barangnya bakal dijagain di dalam bus..

Sayonara, Mina! Foto-foto sebelum meninggalkan tenda.

Sayonara, Mina! Foto-foto sebelum meninggalkan tenda.

Sepanjang perjalanan, saya dan suami memperhatikan kondisi geografis kota Mekkah yang dipenuhi dengan tebing batu dan padang pasir.
“Pantes ya susah cari sayur di sini, batu semua gini.”
“Iya, jadi mereka selalu impor sayuran dan buah ya?”
“Sepertinya begitu…Hebat ya masih bisa ngurusin event sebesar haji dengan segala keterbatasan di sini. Listriknya, airnya, transportasinya… gimana coba dulu instalasinya sampai bisa menjamu orang sebanyak ini?”

Sekilas kami sempat melihat lagi rel kereta api yang mengular di antara padang-padang gersang. Membayangkan betapa butuh efforts serius untuk membangun konstruksi transportasi itu di tengah tumpukan bebatuan, tanah kering, udara panas, dan hamparan pasir luas. Saya teringat lagi stasiun-stasiunnya yang sepi saat kami tur Mekkah seminggu silam. Selain karena masih baru, kereta tersebut juga hanya digunakan selama musim haji sejauh ini, dan itu pun penumpangnya masih terbatas. Sayang banget, yah? Agaknya dibutuhkan banyak man hours ke depan hingga manajemennya bisa berjalan baik. Nggak gampang bikin sistem layanan publik yang rapi dan adil untuk customers yang sangat heterogen seperti para jemaah haji.

11.3 - kondisi alam Mekkah

Kondisi alam Mekkah yang dihiasi dengan bebatuan di mana-mana

Rumah pun terlihat seolah "ditanam" di tebing batu

Rumah pun terlihat seolah “ditanam” di tebing batu

11.3b - kondisi alam Mekkah

Potret lain rumah-rumah di atas tebing batu, dipotret dari dalam bus dalam perjalanan kembali ke Mekkah dari Mina

Pada akhirnya, kenyataan tak seindah harapan. Lalu lintas macet parah di dalam kota Mekkah sehingga kami terlambat mengejar jamaah salat Asar di Masjidil Haram. Ya iyalah.. emangnya yang balik dari Mina kami doang? Ada ratusan bus kali, bro! 😐 Belum lagi sebagian jemaah haji yang pulang ke Mekkah dengan berjalan kaki dan sedikit banyak makan jatah jalanan beraspal (trotoar di Mekkah rata-rata sempit banget, cuma muat buat seorang per arah.. jangan berharap seluas yang di Jepang ya. Haha).

Sebagian bapak-bapak begitu turun dari bus tetap nekat ke masjid meski bakal jadi makmum masbuk, tapi saya memutuskan masuk penginapan dulu dan beristirahat sebentar. Seingat saya, teman-teman sekamar juga memilih demikian. Saya sempat tiduran sebentar di kasur saking capeknya, mandi-mandi, baru berangkat ke masjid, dan salat Asar di sana.

Dengan kembalinya kami dari Mina ini lengkap sudah catatan baik saya terhadap agen Mian terkait aspek transportasi. Kesimpulannya, kami sama sekali nggak pernah terjebak macet kaya yang suka ada di cerita-cerita haji. Kalo pun setelah ini mau macet-macetan, it’s fine lah.. udah nggak ada tanggungan gini 🙂

Tawaf Ifadah dan Sa’i Haji

Bagi jemaah yang memilih tawaf haji dikerjakan sekembalinya ke Mekkah setelah kewajiban di Mina usai seperti kami (baca tulisan hari ke-9, bagian “Jumrah Aqabah” terkait keputusan ini), kembali ke Mekkah bukan berarti udah bisa santai-santai karena ada konsekuensi untuk menyelesaikan rukun haji, yakni tawaf ifadah dan sai. Bagi mereka yang sudah tunai kewajibannya di tanggal 10 atau 11 Dzulhijjah kemarin mungkin bisa mulai berburu kuliner di sekitar masjid :P. Untuk agenda satu ini, misi kami yang belum terwujud cuma satu: makan ayam di Al-Baik. Wkwk *nggak penting banget*

Mengingat pengalaman tawaf pertama yang kurang manis, tawaf ifadah ini direncakan lebih serius daripada tawaf umrah seperti misalnya:

Hanya ternyata nasib membawa kami bertawaf di lintasan luar saja, yang banyak tiangnya selama Masjidil Haram sedang dalam tahap renovasi itu, terus jadi lebih susah khusyuk dibandingkan tawaf pertama karena persinggungan dengan dunia luar (ex: orang salat, orang lewat, orang keluar masuk pusaran, dsb.) lebih banyak ( -_-“) *alesan wae*. Walau begitu, saya bersyukur setidaknya kami bisa turun ke lantai satu dan bertawaf sejajar dengan ka’bah. Sepasang teman kami yang sama-sama salat di lantai atas terjebak di tempat nggak bisa turun saking penuhnya orang ngeblokir jalan keluar sehingga akhirnya mereka terpaksa tawaf di lantai dua yang mana panjang lintasannya lebih jauh (minimal sekitar 1 km/putaran, compared to lantai dasar yang ada ka’bahnya 200-800 m/putaran). Menurut catatan saya saat hari-H, posisi tempat salat kami berada di dekat eskalator jadi mungkin karena itu bisa keluar dengan mulus 😎

Untuk tawaf haji ini lagi-lagi kami hanya berdua saja dan ternyata memang saya merasa lebih nyaman begitu karena kami tidak perlu saling menunggu dan mencari jemaah lainnya baik sebelum maupun selama pelaksanaan ibadah. Kebetulan kami pun default-nya tidak mendapat bimbingan dari pemimpin rombongan atau ustaz. Beda halnya dengan jemaah haji dari Indonesia yang selalu kompak pakai seragam, gandengan bikin barisan, dan serempak mengikuti aba-aba serta doa dari pemimpin regu 😛

Alhamdulillah, tawaf ifadah kami berjalan cepat dan lancar. Nggak sampai sejam hitungannya udah termasuk cepat lah.. Dari segi kepadatan sih kayanya sama aja dengan tawaf sebelumnya. Tidak jaminan bahwa dengan berbedanya pilihan orang terhadap waktu pelaksanaan tawaf ifadah, akan membuat pusaran istimewa ini surut. Nggak kurang-kurang hamba Allah yang mencintai perjalanan di tempat ini meski harus tergencet-gencet.. *gue kali yang badannya kecil*

11.2 - safa marwa

Bukit Safa’ dan Marwa masih bisa kita saksikan dari balik pagar kaca dan lokasi ini menjadi pusat para jemaah memanjaatkan doa sa’i

Tepar abis sai :D

Tepar abis sai 😀

Selesai tawaf, kami langsung menuju tempat sa’i dan memilih ber-sa’i di lantai pertama yang sejajar dengan bukit. Di lantai ini lebih banyak sumber air zamzam dibandingkan dua lantai diatasnya, tapi alasan kami sebenarnya karena malas aja naik ke lantai atas. Hehe. Di antara rukun haji lainnya, saya paling suka sai ini karena bebas gencetan, lokasinya nyaman sekali (lantainya adem, hawanya sejuk, lampu-lampunya cakep, dan banyak air minum tersedia.. hehe), bisa berdoa macam-macam sambil jalan, dan emang pada dasarnya suka lari-lari atau jalan cepat. Waktu mahasiswi aja jadi urutan kedua ujian lari 😀 *njuk ngopo*

Sama seperti tawaf haji, sai kali ini juga gayaannya lebih serius. Berbeda dari pengalaman sebelumnya (sa’i umrah) di mana hari sudah malam dan badan sudah remuk redam, kali ini kami bisa lebih khusyuk beristighfar dan melantunkan doa-doa yang dianjurkan. Ada banyak tautan di luar sana yang mencantumkan doa-doa selama sai, tapi yang paling penting dan terbukti shahih hanyalah doa ketika memanjat bukit Safa dan ketika di atas bukit sambil menghadap kiblat.

[Ketika menaiki bukit Safa, dibaca sekali setelah satu putaran sai pertama dari Safa ke Marwah]

Supplication in Sa’ee (1) when climbing Safa for the first time / after first round trip Safa-Marwa

Innash-shofaa wa l-marwata min sya’aairillahi, faman hajja l-baita awi’tamara falaa junaaha ‘alaihi an-yaththawwafa bihimaa, waman tathawwa’a khairan fainnallaha syaakirun ‘aliim.

“Sesungguhnya Shafa dan Marwah sebagian dari syiar-syiar (tanda kebesaran) Allah. Maka barangsiapa yang berhaji ataupun berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Penerima Kebaikan lagi Maha Mengetahui”. (Q. S. Al Baqarah: 158)

[Ketika berada di atas bukit sambil menghadap kiblat, diulang tiga kali dengan doa bebas diantaranya]

Supplication in Sa’ee (1) when we’re in the top of Safa or Marwa hill

Laa ilaaha illallahu wahdahu laa syariika lahu, lahul mulku wa lahul-hamdu yuhyii wa yumiitu biyadihil-khairu wa huwa ‘alaa kulli syaiin qodiir. Laa ilaaha illallah wahdah, laa syariika lahu, anjaza wa’dahu, wa nashara ‘abdahu, wa hazamal-ahzaaba wahdah.

“Tidak ada tuhan selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagiNya. BagiNya kerajaan dan pujian. Dialah yang menghidupkan dan mematikan, pada kekuasaanNya segala kebaikan dan Dia berkuasa atas segala sesuatu. Tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagiNya, yang telah menepati janjiNya, menolong hambaNya dan dia sendiri menghancurkan musuh-musuhNya.” (H. R. Muslim 1128)

Di Masjidil Haram, area sai merupakan tempat yang paling ngangenin bagi saya karena kami menunaikan salat hampir selalu di sini, baik yang wajib maupun sunah. Selain itu juga tempat langganan untuk isi ulang air zamzam. Area ini tampaknya terus mengalami improvisasi juga dari masa ke masa hingga bisa senyaman sekarang. Full pendingin, penerangan, dan akses keluar masuk masjid. Kami sempat memotret bagian yang ada lampu hijaunya, yang menjadi penanda di mana jemaah haji pria harus berlari kecil sepanjang kawasan berlampu ini. Cuma satu aja problem saya selama sai ini, yaitu telapak kaki sakit. Mungkin sebaiknya pakai kaos kaki tebal agar bisa berlari kecil dengan nyaman di lantai yang keras.

Sai area

Selama berlari sai kali ini kami juga sempat ngobrol tentang jemaah-jemaah haji dari berbagai negara yang kami lihat di sekitar. Subhanallah… amazing banget ketemu saudara-saudara muslim dari negara-negara yang hampir saya lupakan keberadaannya. Hehe. Sebagian dari mereka juga profil wajahnya termasuk ras yang tidak biasa saya lihat. Bahasa dan logatnya pun terdengar sangat asing buat saya. Benar-benar adem melihatnya 🙂

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (Q. S. Al Hujurat: 13)

Tahalul Akhir (Tsani)

This is one of the gate close to Marwa in which many pilgrims do “tahallul” nearby

Usai sai haji ini kami melaksanakan tahalul ketiga selama rangkaian umrah-haji. Berhubung kangmas sudah cukur gundul licin (haha) di Mina, jadi doi cuma formalitas aja nyukur dikit rambut baru yang masih lembut-lembut pakai cukur alis (razor), sedangkan saya memotong rambut sedikit seperti ketika tahalul seusai umrah. Dengan tahalul akhir ini, berarti semua larangan haji terkait hubungan suami istri sudah tidak berlaku lagi.

Yes! Harusnya sih yes ya.. tapi kami nggak bisa kepedean dulu karena belum tentu di Madinah bakal dapat kamar ‘barakah’. Wkwkwk. Di rombongan haji kami ini sejak awal memang ada desas-desus bahwa di Madinah akan diusahakan kamar hotel sendiri-sendiri bagi yang berangkat berpasangan (baca: suami istri :P). Tempatnya bukan di mess lagi seperti di Mekkah, melainkan hotel beneran di mana nggak mungkin sekamar isinya sampai lima orang.

Pengen tahu gimana hasilnya? Sabar ya, dua episode lagi ya kita akan sampai di Madinah 😀

Sembari berjalan keluar dari masjid, kami memperhatikan suasana di sekitar. Ada satu kerumunan yang menarik perhatian kami di lantai utama (lantai 1 yang sejajar ka’bah), yang ternyata setelah didekati ada beberapa barisan orang mengantri di situ. Rupanya mereka sedang menunggu giliran untuk berdialog dengan ulama. Wah, andai kata bisa bahasa Arab boleh tuh ikutan ngantri buat nanya-nanya ke para syeikh 😀

Q&A lines in Masjidil Haram. People are waiting for their turn to have dialog with the ulamas.

Lempar jumrah, perjalanan Mina->Mekkah, tawaf, dan sai cukup menguras energi kami hari ini. Tibalah saatnya isi bahan bakar lagi. Udah jam 10 malam lebih, tapi belum makan malam, bo! Tempat beli makanan paling dekat mana lagi kalau bukan mall depan masjid. Di food court-nya (lantai paling atas), yang masih buka tinggal fast foods macam kebab, chicken nugget, pizza, dan sebangsanya. Kami memutuskan untuk pesan KFC yang mereknya paling familiar di antara kedai ayam-ayaman lainnya. Kapan lagi makan KFC halal? di Jepang kan nggak bisa makan. Hehe.

11.5 - Al Bait mall (Zamzam tower)

Panorama picture inside the Abraj Al-Bait mall  

Walaupun kesannya nih haji kok ibadah emol ibadah emol mulu dan rada miris lihat mall segede itu depan masjid paling sakral, tapi tidak bisa dipungkiri keberadaan si emol ini mungkin cukup membantu para jemaah dalam memenuhi kebutuhan jasmaninya selama haji. One stop point buat urusan makan, toilet, belanja grocery, beli pulsa, cari oleh-oleh, beli obat, dsb. Kalo punya waktu lebih untuk jalan dan jalannya searah dengan rute masjid-penginapan, toko-toko di luar mall sebenarnya menawarkan harga yang lebih terjangkau, jadi silakan cari mana yang praktis aja. Kami bahkan beberapa kali beli makan di warung persis di seberang penginapan sepulang dari masjid atau kalo lagi stay di penginapan saking malesnya jalan. Beruntunglah para jemaah haji Indonesia yang makanannya sudah dijamin tiga kali sehari oleh panitia di luar agenda Mina 😉

Bersambung ke hari ke-12: Sabtu, 18 Oktober 2013 (13 Dzulhijjah 1434H)

Leave a comment

5 Comments

  1. Mbak Ega keren msh inget aja walaupun udah lama. Smga sy jg bisa haji dr Jepang, amiin.. Ditunggu cerita selanjutnya 🙂

    Reply
  2. Wahyu Aristyaning Putri

     /  April 30, 2017

    Assalamualaikum wa rahmatullah, Ega, masih inget saya nggak ya? Sy Tya, kakaknya Yoga. Kita sempat sekolah di SMP yg sama, SMP 3 Cepu. Arigatou tulisannya. InsyaAllah tahun ini sy dan suami akan brangkat haji dr jepang. Jd punya gambaran euy setelah baca tulisan Ega. Mohon doanya ya, kapan2 ketemuan yuk klo pulang ke Cepu 🙂

    Reply
  3. cerita sangat menginspirasi sekali dan bermanfaat buat yang baru pertama kali haji..terima kasih ya sudah berbagi mba ega 🙂

    Reply
  1. [Diary Haji] Hari #12 – Hari Terakhir di Mekkah | .:creativega:.
  2. Daftar Tulisan Seri “Diary Haji” | .:creativega:.

Wait! Don't forget to leave a reply here.. :D