[Diary Haji] Hari #12 – Hari Terakhir di Mekkah


Jumat, 18 Oktober 2013 (13 Dzulhijjah 1434H)
Sambungan dari cerita hari ke-11: [Diary Haji] Hari #11 – Penutup Rukun Haji

Ada beberapa pembaca yang bertanya kok bisa saya masih ingat cerita selama haji, padahal udah lama kejadiannya. Hehe, kadang juga ingatan saya rancu dengan apa yang terjadi hari ini dan hari sebelumnya / selanjutnya, tapi kebetulan di kalender (saya pakai Google Calendar) sudah ada review harian yang saya tulis selama perjalanan. Ini sangat membantu saya menyusun kronologis setiap harinya selain juga menelusuri tanggal dan waktu foto-foto haji dari HP dan kamera (pentingnya dokumentasi!), jadi insyaaAllah yang saya tuliskan di sini benar-benar sesuai dengan kejadian nyatanya yaaa.. kalo ada yang meleset dikit, mudah-mudahan itu hanya masalah urutan waktu, bukan halusinasi ada / tiadanya peristiwa 😀

Shalat Jumat di Jalan (Lagi!)

Sekembalinya kami dari Mina, saya dan suami sama-sama ngedrop kena gejala flu seperti badan meriang dan sakit tenggorokan. Selepas Subuh kami tiduran di kamar masing-masing sampai menjelang siang, sarapan cuma dari stok makanan di kulkas seadanya. Dasar suami paling susah bangun sendiri, tiba-tiba pukul 10.30 saya dikirimi sms agar siap-siap berangkat. Shalat Jumat katanya. Deng!!! Saya lupa banget ini hari Jumat! Makanya santai-santai nggak bangunin doi lebih awal. Terus langsung galau deh begitu ngecek jam mengingat pengalaman Jumat sebelumnya gagal masuk Masjidil Haram saking penuhnya jalan menuju masjid dengan saf-saf orang salat di jalanan. Jangankan jam segitu, Jumatan sebelumnya yang lebih pagi berangkatnya aja udah nggak dapat tempat, apalagi ini yang jam segini mandi aja belum. Wakakak…

Singkat cerita, alhasil kami kesangkut di saf salat Jumat yang jaraknya sekitar 100 meter dari King Abdul Aziz gate, persis di percabangan jalan. Lucunya, ketika mendengarkan khutbah Jumat dan hampir melaksanakan salat, ada iklan lewat. Konsentrasi kami sedikit terganggu dengan kedatangan rombongan haji asal Malaysia yang baru tiba dari Mina. Mereka diturunkan dari bus dan tercerai-berai nyempil sendiri-sendiri di antara jamaah Jumatan, mencari jalan agar bisa keluar dari barisan shaf salat menuju maktab-nya. Beberapa lewat di depan sajadah saya dengan menggotong tas dan koper yang tidak sedikit. Wah, betul-betul ‘mendarat’ di waktu yang tidak tepat mereka.. curiganya sih emang bus-bus mereka sengaja nurunin gitu aja karena udah stuck nggak bisa jalan lagi akibat terpakainya ruas jalan untuk salat Jumat. Kasihan banyak yang terjebak berdiri di antara orang shalat Jumat, menunggu jamaah selesai, dan mereka pun nggak bisa ikut salat karena tidak ada space kosong lagi. Taihen da ne..

Seusai salat Jumat, kami ngadem ke masjid sejenak untuk isi ulang air zamzam sembari menikmati setiap sudut masjid yang sebentar lagi akan kami tinggalkan 😦

The always-gorgeous Kaaba! – Ka’bah yang selalu nggak santai cantiknya dan bikin merinding meskipun sekitarnya ruwetnya kaya apa 🙂

Typical hanging clocks inside Masjid Al-Haram – Beginilah jam-jam gaya jadul yang tergantung di langit-langit Masjidil Haram. Meski analog tetap canggih ada bar informasi waktu salatnya yang diperbarui secara berkala.

There’s enough mushaf for those who want to recite Qur’an 🙂 Kita bisa lho menyumbang mushaf untuk diletakkan di rak-rak masjid ini.. prosedurnya saya tulis di bawah ya!

Wakaf Al-Qur’an

Di depan pintu masuk Masjidil Haram maupun Masjid Nabawi, banyak pedagang yang menjajakan mushaf Alquran atau menjualnya di kedai-kedai mereka. Kita bisa membelinya di situ, minta cap untuk wakaf, kemudian tinggal diletakkan saja mushaf yang ingin diwakafkan itu di rak-rak Alquran yang tersedia di masjid seperti foto di atas. Mushaf yang dijual di sana udah standar formatnya, mirip seperti mushaf yang dihadiahkan ke para jemaah haji dari pemerintah Saudi ketika hendak pulang ke negara masing-masing. Namun demikian, ada juga yang berpendapat, sebetulnya menyumbang Alquran di Indonesia lebih utama karena lebih dibutuhkan (tentu perlu survei lokasi untuk memastikan ke mana harus menyumbang) ketimbang di tanah haram sana.

Menikmati Kuliner Mekkah

When pasta meets lamb…

Selama di Mekkah makanan kami kebanyakan ya berputar antara nasi kuning-oranye-putih dengan seonggok daging ayam berukuran besar dan roti dengan kambing semacam kebab. Makanya terasa seperti refreshing ketika di Mina ketemu kerupuk, Indomie, teri kacang, ikan goreng, dan sebangsa makanan ala Nusantara lainnya 😀

Nah, berhubung keesokannya kami harus cus pergi ke Madinah pagi-pagi, hari ini ceritanya sih pengen dipuas-puasin kuliner di Mekkah dengan berburu tipe makanan yang agak aneh. Dapatlah kami makan pasta dan pizza di foodcourt-nya mall (lupa mall yang mana), tapi tetap lah ya.. proteinnya bukan beef atau chicken, melainkan lamb! Oleh karena kami penggemar kambing jadi hepi-hepi aja, malah emang nyarinya itu. Hehehe. Meski kambing, setelah dicampur dengan saus ala Itali ya udah nggak bisa dibedain lagi sama sapi *eh apa cuma saya aja* dan nggak biasa aja potongan daging yang di spaghetti masih bongkahan ala kare (gambar sebelah kanan –>), biasanya kan daging giling macam bolognese:.

Lamb pizza – Enak, tapi rada mahal dan karena udah beli pasta, jadi cuma pesan satu potong

Can you spell the store name correctly?

Belanja Oleh-oleh

Al-Alwani dates: highly recommended! They have store in Al-Bait mall

Dari baca-baca review orang, kurma berbalut coklat di sekitar masjid cukup recommended dan karena belum pernah dapat juga dari hadiah orang haji/umrah, kami nggak tahu yang mana yang enak. Cari gampangnya, kami beli di toko khusus kurma di mall depan Haram yang mereknya sesuai nama tokonya, Al-Awani. Di kemudian hari, setelah saya mencoba kurma-kurma coklat sejenis dari merek-merek lain pemberian teman dan saudara baik di Indonesia maupun di Jepang, entah kenapa menurut saya masih lebih enak yang saya beli di Al-Alwani itu. Kurmanya round and big, teksturnya moist, dan coklatnya nggak liat. Silakan dibuktikan sendiri 🙂

Kemasan yang saya beli cukup besar dan isinya sekitar 60 buah bungkus kecil. Tiap bungkus kecil isinya satu kurma. Praktis untuk dibagikan. Hebatnya, dibawa perjalanan panjang dari Saudi ke Jepang pun coklatnya tidak meleleh. Dari Jepang ke Indonesia, belum lagi perjalanan di dalam negeri, juga aman-aman aja walaupun udara segitu panas. Must buy item banget, deh, ini!

Selain makanan, kami terpikir untuk beli barang juga buat oleh-oleh yang sifatnya lebih tahan lama. Untuk yang ini tentu kami nggak berharap banyak pada mall tempat cari kurma karena seleksi di sana rata-rata eksklusif, jadi melipir ke mall sebelah yang lebih ‘merakyat’ :)) Benar aja, di mall ini di lantai ke berapa gitu (lupa), begitu sampai ujung eskalator, ada toko serba 3 riyal dan sejenisnya.

“Dollar store” a la Saudi

There’s some section with different prices in one store. Yang ini bagian serba 15 riyal”.

Lumayan bingung juga cari barang yang cocok buat oleh-oleh alias memenuhi kriteria khas, ringan, dan nggak makan tempat (compact). Udah biasa saya dengar orang Indonesia yang pulang haji biasanya beli oleh-olehnya ya di Indonesia, misalnya kalo saudara-saudara saya—yang kebanyakan tinggal di Jawa Timur—cari ke daerah Sunan Ampel, Surabaya. Apa sih yang nggak ada di Indonesia, ya kan? Namun, bagaimana pun dari awal kami tidak berniat untuk bagi oleh-oleh segitunya juga baik di Indonesia maupun di Jepang. Sekedar “ada yang dikasih” aja kalo ada tamu yang berkunjung atau bertemu sanak kerabat saat mudik. Kebetulan waktu itu kami memang berencana untuk back for good ke Indonesia setelah haji. Sebelum haji, suami sudah resigned dari sebuah perusahaan Jepang yang sudah empat tahun dijalaninya.

Singkat cerita, kami putuskan untuk beli parfum dan henna buat rambut aja. Parfumnya beli dua macam, yang satu warna kemasannya pink dan baunya feminim, satunya lagi warna kemasannya hitam dan baunya rada macho 😀 Harganya lupa berapaan, tapi kami beli yang sekardus isi 10 buah (dikemas karton per tabungnya) gitu. Sementara henna cuma beli buat orang-orang yang memang kami tahu bakal suka pakainya. Habis kami beli parfum itu dan cerita-cerita di penginapan, beberapa teman tertarik mau beli juga dan ternyata ada yang dapat lebih murah dikit di pedagang kaki lima di pinggir jalan. Belakangan saya baru tahu kalo di Indonesia parfum ini banyak dijual juga, bahkan saya sadarnya pertama kali malah di tukang fotokopian ketika sudah tinggal di Depok (ya, nasib akhirnya membawa kami ke sini, tapi cuma enam bulan). Bayangin dong apa hubungannya jasa fotokopi dan jual alat tulis sama parfum Arab.. tapi mereka jual itu.

Al-Baik, the best chicken nugget taste

Must-try-food in Saudi: Al-Baik

Cerita lain yang cukup epik hari ini selain Jumatan di jalan adalah pencarian Al-Baik, fast food asli Arab yang konon lebih enak dari semua fast food asal Amrik semacam McD atau KFC. Saya sendiri sampai detik perburuan kami itu belum pernah tahu dan baca referensi tentang merek ini, tapi dari mulai berangkat haji suami sebagai fried chicken mania sudah sounding ‘kita ntar beli Al-Baik’ berkali-kali. Hahaha. Merasa ironis karena kami belum pernah makan itu juga sampai hari terakhir di Mekkah ini, maka menjelang jam 9 malam pun kami tahan-tahan nggak makan malam dulu dan bela-belain berburu Al-Baik.

Hari-hari sebelumnya di Mekkah sebetulnya udah pernah cari Al-Baik ini ada di mana, tapi belum pernah nemu di sekitar masjid dan dilihat di peta juga nggak kelihatan. Herannya, kali ini saat kami dalam kondisi ‘terpepet’ waktu dan udah kepengen banget, tiba-tiba aja dapat petunjuk lokasinya!, padahal pakai petunjuk yang sama a.k.a. Google Maps. Mungkin Allah baru kasih tahu sekarang biar kami nggak sering jajan ke sana selama masa umrah dan haji. Hihihi.

Cabang Al-Baik yang terdekat dari Masjidil Haram terletak di sebuah pusat perbelanjaan, namanya Commercial, yang sepi mamring seperti mall baru gitu. Entah baru apa justru udah nggak laku aja, pokoknya yang ramai didalamnya ya cuma Al-Baik 😛 Dari masjid ke mall ini jalan sekitar 10 menitan lah. Antrian lumayan mengular tapi loket resepsionis yang juga sekaligus kasirnya juga banyak, jadi semua pelanggan cepat terlayani. Tidak banyak varian menu yang tersedia seingat saya, jadi cepat juga pelanggan menentukan pilihan.

Setelah mencoba makan.. alhamdulillah, emang endeusss banget! Bumbunya beda sama ayam-ayam instan sejenis yang pernah kami makan di restoran cepat saji mana pun Duh, sampai sekarang aja setelah lewat bertahun-tahun masih kebayang rasa enaknya. Andaikan bisa nitip mereka yang pergi umrah atau haji.. *ngarep dot com* Wkwk.

Begitulah chicken nugget, sesame bun, chicken wrap (yang kaya kebab masih dibungkus aluminium foil itu), salad mayo, dan entah-roti-apa sukses menutup petualangan di kota suci ini hingga lupa sejenak PR packing buat perjalanan ke Madinah besok pagi 🙂

Bersambung ke hari ketigabelas: Sabtu, 19 Oktober 2013 (14 Dzulhijjah 1434H)

Leave a comment

6 Comments

  1. mbak Ega, lanjutannya blum ada?
    lengkap banget buat jadi referensi perjalanan.

    Reply
  2. Zulhendri

     /  July 18, 2018

    Sedikit info tambahan untuk wakaf Alquran di Mesjidil Haram hanya membolehkan untuk Alquran cetakan Madinah, secara berkala petugas di Mesjidil Haram akan melakukan pengecekan terhadap Alquran tersebut dan bila ditemui Alquran bukan cetakan Madinah akan dikeluarkan dari Mesjidil Haram….

    Reply
    • terima kasih infonya, mas Zulhendri.. ini ada info sejenis juga dari “Life in Saudi Arabia” (ada FB page-nya):

      http://lifeinsaudiarabia.net/blog/2016/12/08/can-we-bring-one-copy-of-quran-fro/

      BTW, sekali lagi ngingetin kalo nyumbang mushaf ke masjid-masjid di Indonesia (atau bahkan di Jepang) yang masih kekurangan/membutuhkan lebih diutamakan daripada ke Haram atau Nabawi, apalagi kalo mushafnya asli Arab dengan standar internasional (Utsmani), biasanya jarang tersedia 🙂

      Reply
  1. Daftar Tulisan Seri “Diary Haji” | .:creativega:.
  2. [Diary Haji] Hari #15 – Jelajah Utara Nabawi | .:creativega:.

Wait! Don't forget to leave a reply here.. :D